Oleh : KH. OVIED.RBulan Ramadhan tanpa terasa sudah memasuki pada tahun 1431H/2010M. Bersamaan dengan perayaan HUT-RI pada tanggal 17 Agustus 2010 yang bertepatan dengan hari ke 7 puasa umat Islam Indonesia. Momentum ini merupakan akar sejarah bahwa bangsa Indonesia harus semangkin mampu dalam menghadapi tanggung jawabnya sebagai bangsa dalam kancah nasional maupun Internasional. Tanggung jawab itu meliputi Agama, budaya, politik, sosial, ekonomi, informasi, meliter, birokrasi, hukum, tekhnologi dan globalisasi. Dua ratus tiga puluh delapan juta lebih kurang penduduk Indonesia pada tahun 2010, intelektual, pemikir, dan berbagai kemajuan sudah di raih, namun masih kita hadapi bangsa ini diremehkan oleh bangsa luar.
Kita lihat kasus akhir-akhir ini yang terjadi antara Indonesia-Malaysia diperbatasan laut kepulauan Riau. Ditangkapnya 3 orang pegawai penjaga perbatasan laut Indonesia di perbatasan kepulauan Riau oleh polisi diraja Malaysia, yang akhirnya dilepas barter dengan pencuri nelayan Malaysia yang tertangkap oleh polisi Indonesia. Belum mampunyai kemandirian pemerintah Indonesia dalam menanggulangi Teroris. Interfensi Asing masih kental mendominasi segala kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya. Lemahnya intelijen Indonesia dalam kancah nasional dan internasional. Pemetaan pembangunan masih banyak salah kaprah. Syahwat para pemimpin dan aparatur negara gersang dari keintelektualan dan keilmuan.
Harga kebutuhan pokok melambung, naiknya harga listrik, gas terus meletus rakyat menjadi korban, nyawa seperti tidak berharga, pajak terus meningkat diberbagai sektor perekonomian, investasi tidak meningkat, sektor perindustrian melemah, parawisata tidak karuan, perbankan jalan ditempat, gaji rakyat tidak kunjung mencukupi, pengangguran menjadi pemicu angka kematian bunuh diri meningkat, stress, emosi rakyat menjadi pemicu anarkis demo dan teroris. Demi pencitraan bak lintah penghisap darah rakyat, pemerintah meningkatkan APBN dengan kesenjangan dan problem tersebut diatas.
Budaya infoteinment pertelevisian lebih mahal dan lebih dicintai dari Koran dan buku bacaan. Generasi muda dan budaya bangsa saat ini memandang harga buku bacaan keilmuan menjadi tabu dan kurang perhatian, ketimbang alat-alat kemegahan seperti Handphone berbagai merek, penghamburan pulsa dengan sia-sia, gonta ganti mobil, motor, dll. Generasi muda saat ini lebih kenal para pemain bola, selebritis dan ahli peramal ketimbang tokoh keilmuan, pemikir, sastrawan, budayawan, ulama dan para pejuang pendiri bangsa ini. Maka tidak heran ada dikalangan generasi muda ditemukan bahwa mereka lebih kenal dan cinta terhadap Luna Maya, Cut Tari dan Aril Paterpen daripada SBY sang presiden. Disinilah keagungan bulan Ramadhan semoga menjadi momentum kita dan bangsa ini bahwa bulan Ramadhan didalamnya lahir Al Qur’an sebagai roda Hidayah (petunjuk), dan anugerah yang paling besar yaitu Lailatul Qadar. Apaklah malam Qadar itu…?
Lailatul Qadar (Malam Qadr)
Lailah Al Qadar (Malam Qadar) di dalam Qur’an disebutkan pada Surat Al Qadr terdiri atas 5 ayat, termasuk golongan surat Makkiyah, diturunkan sesudah surat ‘Abasa. Surat ini dinamai Al Qadr (kemuliaan), diambil dari perkataan Al Qadr yang terdapat pada ayat pertama surat ini. Pokok-pokok isinya: Al Quran dimulai diturunkan pada malam Lailatul Qadr, yang nilainya lebih dari seribu bulan; para malaikat dan Jibril turun ke dunia pada malam Lailatul Qadr untuk mengatur segala urusan.
Imam Ahmad Meriwayatkan sebuah Hadits, Rasulullah Saw ditanya sahabat, “kapan jatuhnya malam Qadar itu, pada bulam Ramadhan atau pada bulan-bulan lainnya?” Rarusullah menjawab, “malam Qadar jatuh pada malam bulan Ramadhan.” Imam Muslim meriwayatkan dari Ubai bin Ka’ab. Rasulullah Saw mengatakan: “Malam Qadar Jatuh pada malam kedua puluh tujuh Ramadhan”. Namun dari berbagai Hadits baik yang shahih maupun yang dha’if menerangkan tentang jatuhnya malam Qadar tidak satupun manusia mengetahui kepastian waktu, hari dan tanggalnya. Namun ulama sepakat bahwa malam Qadar itu pasti datang pada malam Ramadhan, yaitu dari satu Ramadhan sampai akhir pada bulan Ramadhan. Baik pada hari-hari ganjil ataupun pada hari-hari yang genap. Namun jumhur ulama menyebutkan jatuhnya malam Qadar itu pada hari-hari ganjil pada malam bulan Ramadhan.
Perbedaan Ulama Tentang Kapan Jatuhnya Malam Qadar
Para ulama berbeda pendapat tentang jatuhnya malam Qadar . Para ahli Hadits dan jumhur Ulama mengatakan, jatuhnya malam Qadar pada menjelang sepuluh akhir dari bulan Ramadhan (‘asyru al awakhir).
Syekh Ahmad As Shawi Al Maliki (penyusun Hasyiah Tafsir Jalalain 4 Jilid), para ulama Tasawuf seperti Imam Syekh Abul Hasan As Sazili (Magribi, Maroko, Gamarah,lahir pada 593 H), Syeikh Abu Hasan Salman, Syekh Dawud Fathani (penyusun kitab Fikih Mathla’ul Badrin), dll. Mereka semua sangat mencintai dan mencari jatuhnya malam Qadar dengan perincian perhitungan sebagai berikut: Malam pertama Ramadhan jatuh pada hari senin, maka malam Qadar jatuh pada malam ke 21. Malam pertama Ramadhan jatuh pada hari Selasa atau Jum’at, maka malam Qadar jatuh pada malam ke 27. Malam pertama Ramadhan jatuh pada hari Rabu atau Ahad, maka malam Qadar jatuh pada malam ke 29. Malam pertama Ramadhan jatuh pada hari Kamis, maka malam Qadar jatuh pada malam ke 25. Malam pertama Ramadhan jatuh pada hari Sabtu, maka malam Qadar jatuh pada malam ke 23. Imam Syafi’i didalam Tafsir Ibnu Katsir menambahkan, jika malam pertama Ramadhan jatuh pada hari Jum’at, maka malam Qadar jatuh pada malam ke-17 Ramadhan.
Namun hitungan diatas bukan untuk orang awam yang kurang amal ibadahnya. Hitungan tersebut adalah sebagai sugesti bagi orang-orang ahli ibadah dan para ulama yang senantiasa tidak pernah melewatkan keberkahan dari setiap hari, waktu yang terdapat pada siang dan malam bulan Ramadhan tersebut. Sehingga pencarian anugerah agung itu harus ditopang dengan tingkat kesabaran tanpa batas agar mampu menjadikan diri secara zahir dan batin mampu menjauhi perbuatan yang terlarang sebagaimana Sabda Rasulullah Saw mengatakan: “Ada lima perkara perbuatan yang dapat menghilangkan pahala puasa yaitu dusta, Gibah (gossip; gemar menceritakan aib orang lain), menghasut (adu domba), memandang wanita dengan syahwat dan bersumpah palsu.”
Hakikat Hidayah
Hidayah menurut bahasa Arab berasal dari kata “Hada-Yahdi-Hudan-Hadyan-Hadyatan-Hidaayatan” yang bermakna “member petunjuk, membawa jalan atau karunia”. Atau “Hudan – bermakna: Rasyaad-Rasydu : right guidance; right way, right path; true religion”.
Pada bulan Ramadhan Allah Swt turunkan Qur’an sebagai Hidayah petunjuk bagi manusia (Allah Swt berfirman: “Syahru Ramadhan Alladzi Undzila Fihil qur’an Hudan Linnas”; Bulan Ramadhan Allah Swt turunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia). Hidayah (Al Huda; petunjuk) adalah anugerah yang paling besar yang telah Allah Swt berikan kepada umat manusia.
Apakah hakikat makna Hidayah tersebut..? Hidayah yang dianugerahkan kepada manusia itu adalah Akal, para Nabi dan Rasul (penyampai risalah), Al Qur’an (Qanun Syar’i dan Qanun Wadh’i yaitu undang-undang Tuhan dan undang-undang ciptaan manusia) dan yang terakhir adalah kematian menuju akhirat (Surga dan neraka). Mampukan kita sebagai umat manusia dengan Hidayah (akal dan wahyu) tersebut meraih untuk dapat mensyukuri makna kehidupan ini…? Mensyukuri akan nikmatnya berbangsa, bermasyarakat dan bernegara.
Al Gazali Abu Hamid (1058 – 1111M), Avicenna atau Ibnu Sina (980-1039M), Ibnu Khaldun Abdurrahman (1332 – 1406M), dan Ibrahim Bin Adham (310H-395H) memaknai Hidayah dengan cinta terhadap ilmu pengetahuan dan kreasi manusia yang tidak memiliki tritorial waktu, masa dan tempat. Metamorfosis akal dan wahyu merupakan geometris jendela peradaban umat manusia.
Dengan demikian bulan Ramadhan adalah bulan Qur’an, Hidayah (ruh, akal dan wahyu), keilmuan, kreasi, dan bulan pencetus peradaban seluruh umat manusia. Memaknai Ramadhan tidak hanya sebatas ibadah semata, lebih jauh dari itu memiliki intepretasi antara seperitual ibadah dan amal usaha duniawi terpadu erat sebagai satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan sehingga akan terwujud dari hakikat kesempurnaan pada fitrah manusia itu sendiri.
Politik (As Siasah).
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu berperan dalam kancah politik yang baik dan benar. Hakikat politik (As Siasah) adalah filsafat manajemen dari segala aspek kehidupan. Yang diintepretasikan dari ucapan Rasulullah Saw (Waman Lam Yahtamma Biamril Muslimin Falaisa Minhum; Barang siapa yang tidak pernah peduli terhadap urusan umat Islam, maka mereka bukanlah golongan umat Islam). Maksud dari urusan umat Islam (amrul muslimin) adalah politik kehidupan umat. Yaitu politik Agama, politik budaya, politik ekonomi, politik tekhnologi, politik meliter, politik pendidikan, politik pembangunan bangsa, dan lain-lain yaitu seluruh aspek filsafat politik kehidupan umat manusia.
Dengan politik yang kuat dan baik bangsa Indonesia akan mampu berkiprah dalam kancah nasional dan internasional dengan bijak dan berwibawa. Politik merupakan thariqah (jalan) bagi rakyat dan bangsa bahwa segala sirkulasi tatanan kehidupan negara dapat berlomba-lomba dalam kemajuan dan kecemerlangan untuk meraih dan mencapai kesejahteraan bagi rakyatnya. Karena jika politik suatu bangsa lemah dan keropos sebagaimana yang dikatakan Ibnu Rusy: “Negara yang lemah cara politiknya akan menjadi negara yang tertindas dari segala hal oleh bangsa-bangsa lain, bahkan lebih parah lagi bangsa itu sendiri rapuh dan hancur digerogoti oleh rakyatnya sendiri”.
Pergulatan politik Indonesia sekarang masih banyak memiliki hambatan yang begitu besar. Terutama politik ekonomi perbankan, politik industri dan tekhnologi, politik meliter dan informasi, politik dalam ngeri maupun politik luar negri. Terlebi pada politik intelijen Indonesia, masih kelihatan begitu lemah baik bersekala nasional maupun internasional. Sangat jauh berbeda dengan apa yang terjadi dengan Negara Amerika. Hampir diseluruh dunia pejabat duta besar Amerika berasal dari orang-orang FBI atau CIA. Pemetaan politik nasional dan internasional tidak memiliki konsep kepemimpinan dan ketegasan yang bijak. Kerancuan dan kesenjangan sirkulasi tatanan kebijakan birokrasi pemerintahan dengan rakyatnya masih saling berbenturan satu sama lain.
Muara politik suatu bangsa yang menentukan adalah sang kepala negara atau raja. Jika kepala negara atau sang raja tidak memiliki komitmen pemetaan dalam mengelola negara dan rakyatnya dengan bijak, cepat dan tegas, maka kehancuran dan keroposnya birokrasi akan terus digrogoti. Wibawa bangsa akan semangkin dimarjinalkan oleh Negara-negara asing. Akhirnya wibawa bangsa ibarat pengemis buta yang selalu menumpuk harta, namun tidak mampu makan karena penyakit yang diderita.
Kesimpulan
Lailatul qadar antara hidayah dan politik, berarti bangsa Indonesia khususnya umat Islam memiliki tanggung jawab yang besar bahwa bangsa Indonesia harus mampu membawa perubahan disegala bidang. Dengan memperingati hari kemerdekaan dan pada bulan Ramadhan yang agung ini, semoga para pemimpin dan generasi Indoensia yang akan datang dapat berperan lebih optimal lagi dalam mencapai peradaban baru. Peradaban (Tamaddun; Al Hadharah; Civilization) yang mampu membawa bangsa-bangsa dunia menjadi “Ahsan At Taqwim” yaitu bahwa hakikat manusia itu adalah makhluk yang paling sempurna daripada makhluk lainnya. Dengan demikian maka martabat manusia didunia ini akan menjadi mulia. Allah Swt berfirman: “Wa Karramallahu Bani Adam; Dan Allah Swt akan senantiasa memuliakan umat manusia, sama ada mereka beriman ataupun tidak beriman”. Kita merindukan generasi bangsa Indonesia lahir seperti Mulla Sadra atau Suhrawardi Al Maqtul modern, semoga.. Amin.
Penulis adalah Sekretaris Dewan Fatwa Al Washliyah & Direktur Lembaga Riset Timur Tengah MalaysiaSumber :http://www.al-washliyah.com
0 komentar:
Posting Komentar