TANGGAPAN masyarakat terhadap putusan Pengadilan Negeri Tangerang yang menjatuhkan hukuman denda terhadap Prita dalam kasus dengan RS Omni Internasional sebesar Rp204 juta, sungguh dahsyat.
Seseorang melemparkan gagasan kepada masyarakat untuk bersedia mengumpulkan mata uang logam guna membantu Prita membayar denda itu. Masyarakat luas menanggapinya dengan positif dan cepat. Di banyak tempat didirikan Posko sebagai tempat bagi masyarakat untuk menyerahkan koin itu.
Dalam waktu cepat, banyak sekali warga masyarakat, baik sendiri-sendiri maupun melalui kelompok atau organisasi menyerahkan banyak sekali koin di Posko-posko itu. Televisi menampilkan tayangan tentang remaja dan orangtua memilah, mengantongi, dan menghitung koin itu.
Jumlah koin yang terkumpul banyak sekali, perlu beberapa truk untuk membawanya ke Bank Indonesia. Mesin penghitung koin di BI perlu waktu tiga hari untuk menghitungnya. Koin yang terkumpul itu bernilai sekitar Rp800 juta.
Solidaritas sosial yang sama juga ditunjukkan terhadap Bibit-Chandra yang berbentuk dukungan melalui FB oleh lebih dari 1 juta orang, yang terkumpul dalam waktu relatif singkat. Dua contoh itu menunjukkan adanya solidaritas sosial yang amat dahsyat.
Saya menerima email dari kawan yang terlibat dalam upaya membela korban Lapindo, mengapa solidaritas sosial yang dahsyat tidak diterima oleh para korban Lapindo yang menderita akibat bencana itu. Memang ada solidaritas sosial dari masyarakat saat peristiwa itu baru terjadi, tetapi tidak berlanjut dan kini mereka terabaikan.
Mengapa terjadi perbedaan sikap masyarakat terhadap korban Lapindo dan terhadap Prita serta Bibit-Chandra? Pertama, rasa keadilan masyarakat terusik karena masyarakat menangkap ada niat tidak baik dari RS dan dokter yang terkait. Walaupun PN menyatakan bahwa Prita melanggar hukum, masyarakat tidak percaya. Banyak warga masyarakat yang pernah merasakan perlakuan yang sama dan merasa bahwa Prita sama dengan dirinya.
Sedang peristiwa Lapindo sama sekali berbeda, tidak banyak yang merasakan peristiwa seperti itu. Karena itu tidak banyak yang mengasosiasikan dirinya dengan korban Lapindo. Wajar kalau tidak ada gerakan solidaritas yang massiv terhadap para korban Lapindo.
Menurut masyarakat, korban Lapindo adalah korban dari bencana alam. Hal itu adalah hasil upaya dari PR pihak Lapindo yang berkampanye bahwa peristiwa itu adalah bencana alam, walaupun sejumlah pakar pengeboran dunia menyatakan bahwa peristiwa Lapindo adalah kesalahan manusia.
Bagaimana kita menerangkan apa sebab tidak terlihat solidaritas sosial yang menonjol dan berbentuk gerakan masyarakat saat ada peristiwa busung lapar atau ada pelajar bunuh diri karena tidak bisa membayar SPP? Mungkin karena terlalu banyak terjadi kasus seperti itu dan menjadi tidak seksi lagi di mata masyarakat.
Dua gerakan solidaritas sosial di atas adalah modal sosial berharga dan perlu dimanfaatkan untuk menumbuhkan adanya gerakan solidaritas massiv yang melibatkan masyarakat luas untuk bisa membantu begitu banyak warga masyarakat yang membutuhkan bantuan. Jadi gerakan solidaritas sosial itu adalah jembatan antara pihak yang mau dan mampu membantu dengan pihak yang membutuhkan bantuan.
Semoga ada pihak yang bisa memulai gerakan sosial seperti itu.(Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng)
Sumber:http://www.pelita.or.id/baca.php?id=85854
0 komentar:
Posting Komentar